Sabtu, 14 April 2018

The Commuter 2018




The COMMUTER 2018
The Commuter



Dari empat film kolaborasi Liam Neeson dengan sutradara Jaume Collet-Serra, saya pikir The Commuter adalah yang, secara logika, paling absurd. Awalnya film ini bermain seperti film misteri ala Hitchcock, lalu di tengah jalan berubah drastis menjadi sebuah film aksi. Skenarionya lebay dan sok serius. Namun digarap dengan begitu baik, saya jadi bingung. Filmnya terlihat lebih baik kalau tak begitu dipikirkan. Sebentar, saya mau koreksi. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin plot film ini adalah yang terabsurd, bukan dari Collet-Serra saja, melainkan dari semua film aksi Neeson.



Neeson terlahir kembali sebagai ikon bintang aksi gaek di tahun 2008 lewat Taken. Pria seumuran Setya Novanto ini ternyata tak kalah meyakinkan saat menghajar orang dalam film aksi kelas B, apalagi kalau cuma sekedar nabrak tiang listrik. Sejak saat itu, Collet-Serra ikut nimbrung mengeksploitasi imej baru Neeson tersebut lewat Unknown, Non-Stop, dan Run All Night. Dalam The Commuter, perannya sedikit berbeda. Tapi tidak juga. Pfft, siapa juga yang bakal ketipu.

Adegan pembuka menjanjikan filmnya bakal lebih dari sekedar bak-bik-buk dan dar-der-dor. Neeson bermain sebagai Michael, agen asuransi biasa yang menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja — kelas menengah, tapi untungnya tak ngehek. Collet-Serra dengan efektif menangkap rutinitasnya yang monoton dalam waktu singkat. Pagi hari bangun, mendengarkan radio, sarapan bersama anak, lalu diantar sang istri ke stasiun untuk berangkat menuju kantornya di Manhattan. Naas, sesampai di kantor, Michael malah dipecat.

Dalam perjalanan pulang di kereta, Michael didekati oleh seorang wanita misterius bernama Joanna (Vera Farmiga) yang memberinya sebuah penawaran yang aneh. Yang harus dilakukan Michael hanyalah mengidentifikasi satu penumpang yang tak seharusnya ada di gerbong itu, lalu ia akan mendapat imbalan yang wow. Ini tawaran yang konyol, tapi kebetulan Michael memang sedang butuh uang juga. Saat Joanna turun, ia kemudian menyadari bahwa tawaran ini serius, sangat serius sampai melibatkan nyawa para penumpang lainnya.

Tapi mereka bukan disandera, karena kalau begitu judul film seharusnya Taken 4. Yang kita dapatkan adalah sebuah film detektif ala-ala. Michael berjalan dari satu gerbong ke gerbong lain, mencari petunjuk akan siapa orang yang dimaksud. Ancaman juga semakin besar. Joanna sepertinya punya mata dan telinga dimana-mana, sehingga tahu semua detil dari tindak-tanduk Michael. Lebih parahnya, keluarga Michael juga berada dalam bahaya.

Saya kira awalnya film ini mengkondisikan Neeson sebagai pria biasa. Namun ternyata tidak juga. Ketika sedang melepas stres di bar, Michael bercengkerama dengan rekan lamanya, Murphy (Patrick Wilson) sembari meledek Kapten David (Sam Neill). Michael ternyata mantan polisi! Jadi tidak bakal aneh dong, kalau ia punya insting yang kuat dan nanti juga bisa menghajar orang atau bergelantungan di kereta yang tengah melaju.

Film ini bisa dibilang tak pernah kehilangan momentum. Transisi di bagian pertengahan terasa janggal, tapi filmnya mantap sebagai bagian yang terpisah. Collet-Serra meluncurkan filmnya dengan kecepatan tinggi, menjaga tensinya tetap stabil. Sang sutradara benar-benar tahu cara membuat suatu adegan itu menegangkan. Gerakan kameranya dinamis, dan terkadang sok pamer dengan beberapa shot yang stylish. Ada satu adegan pertarungan di dalam kereta yang diambil secara one-take tanpa terputus. Film ini memakai CGI untuk efek spesial, tapi dimanfaatkan dengan efektif sekali.

Dengan begitu hebohnya adu jotos dan peluru yang dihamburkan, saya heran juga kok ya lama juga penumpang lain jadi panik. Faktanya, banyak karakter figuran yang manut begitu saja dengan apa yang Michael katakan atau lakukan. Karakterisasi termakan oleh mekanika plot. Konspirasi yang dilakukan Joanna menjangkau terlalu jauh, kita harus mematikan otak untuk menerima logika penceritaannya. Apakah Joanna perlu menyusun rencana seribet itu? Apakah filmnya memang meloncat keluar rel dengan spektakuler? Sepertinya begitu, tapi kita dibuat tak terlalu mengacuhkan logika atau realita saat menonton.

Banyak bagian dari film yang bakal terasa tak nyambung saat anda memikirkannya kembali di luar bioskop. Namun seabsurd apapun ceritanya, Collet-Serra tahu cara untuk membuatnya menjadi film yang terasa sungguhan. Marvel atau DC boleh lah mengontaknya untuk menggarap film superhero mereka. Namun tunggu sebentar; setelah pesawat di Non-Stop, lalu kereta di film ini, saya harus melihat Neeson beraksi di kapal pesiar terlebih dahulu. ■UP